A. Asal-usul
Wayang
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia
ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali
di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan
dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan
hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang
termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup
kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan
sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan,
tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya
ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan
istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan
bahasa lain.
Sementara itu, pendapat
kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu
ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen,
Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana
Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun
1950-an, buku-buku pe wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal
dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan
sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga,
raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang
makmur-makmur nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis
oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab
Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah
Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan
pujangga In dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya
menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya
dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya,
karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk
pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita
asli versi In dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri
(1130 – 1160).
Wayang sebagai suatu
pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja
Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah
menyebutkan kata-kata “mawa yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah per
tunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran
budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam
Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni
kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan
Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis toric Research in the Netherland Indie
(1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone sia halaman 987.
Kata `wayang’ diduga
berasal dari kata `wewa yangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai
dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik
kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di
balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui
bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi
oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis
seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga
belum ada.
Untuk lebih menjawakan
budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang
lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah
cerita cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai
diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini
kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi
menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di
antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja
Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke
Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang,
terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15,
yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang
disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura,
penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh
dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah
tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu
terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya,
mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan
cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi
yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu
kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah
beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India
beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di
negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah
terjadi di pulau Jawa.
Dan di wilayah
Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan
hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah
biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan
dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates
ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.
B. Pengertian
Wayang Kulit
Wayang kulit adalah seni tradisional
Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata Ma Hyang
artinya menuju kepada yang maha esa, . Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang
juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan
yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang
terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau
lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat
bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus
memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Secara umum
wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata
dan Ramayana,
tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon
carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada
tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang
cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece
of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang
kulit lebih populer di Jawa
bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek
lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
C. Pembuatan Wayang Kulit
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit
kerbau yang sudah diproses menjadi kulit lembaran, perbuah wayang membutuhkan
sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan
yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas
baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran,
ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing
mempunyai fungsinya berbeda-beda. Namun pada dasarnya, untuk menata atau
membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang.
Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada
tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya
dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang
fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat
berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan
menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan
dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada,
hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan
yang bront.
D. Dalang Pewayangan
Dalang
adalah bagian terpenting dalam pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Dalam
terminologi bahasa jawa, dalang (halang) berasal dari akronim ngudhal Piwulang. Ngudhal artinya membongkar atau menyebar luaskan dan
piwulang artinya ajaran, pendidikan, ilmu, informasi. Jadi keberadaan dalang
dalam pertunjukan wayang kulit bukan saja pada aspek tontonan (hiburan) semata, tetapi juga tuntunan. Oleh karena itu, disamping menguasai teknik pedalangan
sebagai aspek hiburan, dalang haruslah seorang yang berpengetahuan luas dan
mampu memberikan pengaruh.
Dalang-dalang
wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda antara lain almarhum
Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang, gaya Solo),
almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya Banyumas), Ki Timbul Hadi Prayitno
(Yogya), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Jogjakarta),Ki Soeparman (gaya
Yogya), Ki Anom Suroto (gaya Solo), Ki Manteb Sudarsono (gaya Solo), Ki Enthus
Susmono, Ki Agus Wiranto. Sedangkan Pesinden yang legendaris adalah almarhumah
Nyi Tjondrolukito.
E. Jenis-jenis Wayang Kulit menurut
Asal Daerah atau Suku
Wayang juga ada yang menggunakan bahasa Melayu Lokal
seperti bahasa Betawi, bahasa
Palembang, dan bahasa Banjar diantaranya adalah:
Ø Wayang
Jawa Yogyakarta
Ø Wayang
Jawa Surakarta
Ø Wayang
Jawa Timur
Ø Wayang
Sasak (NTB)
Ø Wayang
Palembang (Sumatera Selatan)
Ø Wayang
Betawi (Jakarta)
Ø Wayang
Cirebon (Jawa Barat)
Ø Wayang
Madura (sudah punah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar