Numpak sedhan nganggo blangkon
angkutan umum dadi becax
mbiyen premium saiki pertamax
wong luwe ora kongang ngadeg
Wis suwe ora mangan gudheg
wani mbanting oleh dedeg
ayo mancing golek dheleg
ngadeg jejeg nyungggi klapa
ora kaya ewuhe nyunggi duren
ora bisa ngadeg bukane apa-apa
ning merga lemes saking olehe keluwen
Tuku gabah ning Semarang
Gabah garing sekepelan
Ra Masalah wedhok lanang
Sing penting duwe bolongan
Nyolong waja tekan balongan
olehe ngedol adoh tekan SUMUT
Bolongan aja sembarang bolongan
bolongan kudu sing iso ngemut
Saka balongan nganti tekan sumut
mung saderma golek kuthuk
Bolongan apa tah sing isa ngemut
ya kuwi sing di arani tutuk
jare Durno, bojone jaran
dede kulo, anakke setan
Awan-awan mangan gethuk
bubar mangan kok ngantuk
saben dina sangu rantangan
isine rantang katon methuthuk
Aku pancen bubar mangan
ning ora mangan gethuk
Ono Teklek kejegur kalen…
Tinimbang nggolek mendingan balen…
Pit Abang
Pite mas Mantri
Nek ngesun Kembang
aku ya ngantri
Bude teko nggowo bolu…
Ngakune joko anake telu
mangan jadah, enteke telu
najan simbah, adhi kelasmu
Nang medan ana terminal Amplas
yen udan kebanjiran nggo susuh kodok
lha mosok ora nduwe ide babar blas
apa ide kuwi di monopoli kaum ortodoks
siji loro telu papat
lima enem pitu wolu
biji loro tetep hebat
angger kembang melu ngguyu
Siji loro telu
astane sedheku
mirengake simbah mu
menawa di dangu
mangan bakwan anget-anget
dipangan karo lombok abang
awan-awan kok adus kringet
luwih penak yen di dus i kembang
kembang mlati kembang kenongo
ojo ganti, mengko gelo
dondong opo salak
duku cilik cilik
ngandong opo mbecak
mlaku timik timik
Bekicot nempel katok
Nyocot thok
Ndelok Monas seko Tugu
Ben ra panas jejer aku
Wit Gedang Awoh Pakel
Omong Gampang Nglakoni Angel
wit Pakel kesrempet bis kota
najan angel tetep usaha
Jajah deso milangkori
Gadjahbengko cen ngangeni
Nyangking Ember Kiwo-Tengen
Lungguh Jejer Tombo Kangen
Esuk Nyuling Sore Nyuling, Sulinge Arek Surabaya
Esuk eling Sore eling, sing dieling ra rumangsa
Pithik walik mangan peyek
isih cilik betah melek (hi hi hi… ciblek
bendhu alfandiv
Selasa, 27 September 2011
Senin, 26 September 2011
BUSANA LURIK
1. Deskripsi Lurik
Lurik merupakan nama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa
Jawa, lorek yang berarti garis – garis, yang merupakan lambang kesederhanaan.
Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna
(Djoemena, Nian S., 2000).
Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga
memiliki fungsi sebagai status simbol dan fungsi ritual keagamaan. Motif lurik
yang dipakai oleh golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat
biasa, begitu pula lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan
waktu serta tujuannya. Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau
dari sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki makna
yang mengandung petuah, cita-cita, serta harapan kepada pemakainya. Namun
demikian saat ini pengguna lurik semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh
tahun yang lalu. Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.
Lurik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) adalah suatu
kain hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif
dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya
diselingi aneka warna benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang
artinya garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi
pemakainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain
tenun yang memiliki corak jalurjalur, sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa
Jawa(Mangunsuwito:20 02) pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau
lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia.
Dan berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa lurik merupakan kain yang diperoleh melalui proses
penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi
selembar kain katun. Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang
tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan
pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak
yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin
sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.
Kain tenun lurik merupakan salah satu benda budaya karena dimiliki
oleh suatu masyarakat tertentu. Benda ini merupakan wujud fisik dari ide,
nilai, maupun norma yang mengatur dan memberi arah bagi masyarakat pada suatu
kebudayaan tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (2000)
bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu norma sebagai tata kelakuan yang
mengatur dan memberi arah, aktivitas yang berpola, dan benda hasil karya
manusia sebagai wujud fisiknya.
2. Cara Pembuatan Lurik
Pada awalnya, motif lurik masih sangat sederhana, dibuat dalam warna
yang terbatas, yaitu hitam, putih atau kombinasal antarkeduanya. Pada jaman
dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu
benang (lawe). Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan
hitam dan putih.
Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan menggunakan pewarna
tradisional, yaitu yang bernama Tarum) dan dari kulit batang mahoni. Hasil
rendaman daun pohon Tom menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan
kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.
Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga
lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi dengan menggunakan
kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau benang ini kaku,
kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang siap untuk
ditenun.
Dahulu,
alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua macam alat, yaitu alat tenun
bendho dan alat tenun gendong. Adapun alat tenun bendho terbyat dari bambu atau
batang kayu, biasanya digunakan untuk membuat stagen. Stagen yaitu ikat
pinggang dari tenunan benang yang sangat panjang dan digunakan untuk pengikat
kain (jarik) oleh para wanita Jawa. Alat tenun ini digunakan dengan posisi
berdiri. Disebut sebagai alat tenun bendho karena alat yang digunakan untuk
merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan alat tenun gendong
digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar, maupun jarik (kain
panjang). Disebut demikian karena salah satu bagiannya diletakkan di belakang
pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Dalam proses pembuatan kainnya,
penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun tersebut.
Proses pembuatan kain lurik terdiri dari lima tahap :
- Pencelupan warna. Tidak seperti batik yang menggunakan cara “menggambar “pada selembar kain jadi, pembuatan lurik adalah dengan menenun benang mnejadi selembar kain. dengan motif yang dirancang sejak dari pencelupan warna benang sesuai dengan yang diinginkan.
- Kelos dan palet ( memintal )
Untuk memudahkan dalam menata
benang, setelah dicelup, benang dijemur hingga kering. setelahnya, benang
dipintal dalam gulungan-gulungan kecil yang disebut kelos atau palet.
- Sekir (menata benang menjadi motif)
Proses ini adalah proses paling
rumit, karena seorang penyekir harus menata benang-benang tipis sejumlah 2100
helai benang untuk menghasilkan satu motif tertentu kain lurik selebar 70 cm.
tiap-tiap motif memiliki rumus yang berbeda. padahal motif kain lurik sendiri
berjumlah puluhan. baik motif klasik maupun motif kontemporer.
- Nyucuk ( memindahkan desain motif ke alat tenun) Setelah motif dasar ditata di alat sekir, makan kemudian dipindahkan ke alat tenunan. kembali ke-2100 helai benang tadi ditata, dimasukkan satu persatu ke alat serupa sisir di alat tenun. Pada bagian ini, harus dilakukan oleh dua orang, yang satu memilah benang satu persatu dan menyerahkannya kepada partnernya, sedangkan partner satunya menerima dan memasangkan pada alat tenunnya.
- Menenun. Setelah empat proses yang mendahuluinya, akhirnya benang-benang itu siap untuk ditenun. dan tentunya dengan menggunakan alat tenun manual atau yang dikenal dengan ATBM, Alat Tenun Bukan Mesin. Dan akhirnya, kain-kain lurik indah penuh maknapun siap digunakan.
3. Hubungan Lurik dengan
Busana Jawa
Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh semua orang, sebagai busana
sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya, atau tapih/nyamping/jarik (kain untuk
bawahan). Untuk pria, sebagai bahan baju pria, di Solo disebut dengan beskap,
sedangkan di Yogyakarta
dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang (jarik
gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar untuk menggendong
tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu), terutama di daerah Solo dan Klaten Jawa Tengah.
Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih penting lagi
bahwa kain lurik ini dahulu digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan
kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti ruwatan,
siraman, mitoni, dan sebagainya.
Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris, namun variasinya
sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik tradisional, seperti yang
ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama corak, yaitu antara
lain: corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli,
kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan
salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang
sekebon, dan sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) disebutkan pula
beberapa motif seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil.
Dalam perkembangannya muncul motif- motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang,
sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih banyak lagi.
Motif yang paling mutahir adalah motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan
galer.
4. Pengembangan Lurik
Lurik dahulu hanya digunakan sebagai
bahan baju, kemben, selendang, jarik, sarung. Namun seiring dengan perkembangan
jaman penggunaan kain lurik lebih bervariasi sesuai kebutuhan contohnya sebagai
bahan topi,tas,dompet,taplak,selimut dan masih banyak lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)