bendhu alfandiv

Selasa, 27 September 2011

PANTUN LAN PARIKAN LUCU JAWA

Numpak sedhan nganggo blangkon
angkutan umum dadi becax
mbiyen premium saiki pertamax
wong luwe ora kongang ngadeg
Wis suwe ora mangan gudheg
wani mbanting oleh dedeg
ayo mancing golek dheleg
ngadeg jejeg nyungggi klapa
ora kaya ewuhe nyunggi duren
ora bisa ngadeg bukane apa-apa
ning merga lemes saking olehe keluwen

Tuku gabah ning Semarang
Gabah garing sekepelan
Ra Masalah wedhok lanang
Sing penting duwe bolongan
Nyolong waja tekan balongan
olehe ngedol adoh tekan SUMUT
Bolongan aja sembarang bolongan
bolongan kudu sing iso ngemut
Saka balongan nganti tekan sumut
mung saderma golek kuthuk
Bolongan apa tah sing isa ngemut
ya kuwi sing di arani tutuk
jare Durno, bojone jaran
dede kulo, anakke setan
Awan-awan mangan gethuk
bubar mangan kok ngantuk
saben dina sangu rantangan
isine rantang katon methuthuk
Aku pancen bubar mangan
ning ora mangan gethuk
Ono Teklek kejegur kalen…
Tinimbang nggolek mendingan balen…
Pit Abang
Pite mas Mantri
Nek ngesun Kembang
aku ya ngantri
Bude teko nggowo bolu…
Ngakune joko anake telu
mangan jadah, enteke telu
najan simbah, adhi kelasmu
Nang medan ana terminal Amplas
yen udan kebanjiran nggo susuh kodok
lha mosok ora nduwe ide babar blas
apa ide kuwi di monopoli kaum ortodoks
siji loro telu papat
lima enem pitu wolu
biji loro tetep hebat
angger kembang melu ngguyu
Siji loro telu
astane sedheku
mirengake simbah mu
menawa di dangu
mangan bakwan anget-anget
dipangan karo lombok abang
awan-awan kok adus kringet
luwih penak yen di dus i kembang
kembang mlati kembang kenongo
ojo ganti, mengko gelo
dondong opo salak
duku cilik cilik
ngandong opo mbecak
mlaku timik timik
Bekicot nempel katok
Nyocot thok
Ndelok Monas seko Tugu
Ben ra panas jejer aku
Wit Gedang Awoh Pakel
Omong Gampang Nglakoni Angel
wit Pakel kesrempet bis kota
najan angel tetep usaha
Jajah deso milangkori
Gadjahbengko cen ngangeni
Nyangking Ember Kiwo-Tengen
Lungguh Jejer Tombo Kangen
Esuk Nyuling Sore Nyuling, Sulinge Arek Surabaya
Esuk eling Sore eling, sing dieling ra rumangsa
Pithik walik mangan peyek
isih cilik betah melek (hi hi hi… ciblek

Senin, 26 September 2011

BUSANA LURIK

1.      Deskripsi Lurik
Lurik merupakan nama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garis – garis, yang merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000).
Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga memiliki fungsi sebagai status simbol dan fungsi ritual keagamaan. Motif lurik yang dipakai oleh golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat biasa, begitu pula lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan waktu serta tujuannya. Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita, serta harapan kepada pemakainya. Namun demikian saat ini pengguna lurik semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.
Lurik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang artinya garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalurjalur, sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02) pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia.
Dan berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik merupakan kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun. Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.
Kain tenun lurik merupakan salah satu benda budaya karena dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu. Benda ini merupakan wujud fisik dari ide, nilai, maupun norma yang mengatur dan memberi arah bagi masyarakat pada suatu kebudayaan tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (2000) bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu norma sebagai tata kelakuan yang mengatur dan memberi arah, aktivitas yang berpola, dan benda hasil karya manusia sebagai wujud fisiknya.
2.      Cara Pembuatan Lurik
Pada awalnya, motif lurik masih sangat sederhana, dibuat dalam warna yang terbatas, yaitu hitam, putih atau kombinasal antarkeduanya. Pada jaman dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu benang (lawe). Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan hitam dan putih.
Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang bernama Tarum) dan dari kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun pohon Tom menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.
Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi dengan menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau benang ini kaku, kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang siap untuk ditenun.
Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua macam alat, yaitu alat tenun bendho dan alat tenun gendong. Adapun alat tenun bendho terbyat dari bambu atau batang kayu, biasanya digunakan untuk membuat stagen. Stagen yaitu ikat pinggang dari tenunan benang yang sangat panjang dan digunakan untuk pengikat kain (jarik) oleh para wanita Jawa. Alat tenun ini digunakan dengan posisi berdiri. Disebut sebagai alat tenun bendho karena alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan alat tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar, maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian karena salah satu bagiannya diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Dalam proses pembuatan kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun tersebut.
Proses pembuatan kain lurik terdiri dari lima tahap :
  1. Pencelupan warna. Tidak seperti batik yang menggunakan cara “menggambar “pada selembar kain jadi, pembuatan lurik adalah dengan menenun benang mnejadi selembar kain. dengan motif yang dirancang sejak dari pencelupan warna benang sesuai dengan yang diinginkan.
  1. Kelos dan palet ( memintal )
Untuk memudahkan dalam menata benang, setelah dicelup, benang dijemur hingga kering. setelahnya, benang dipintal dalam gulungan-gulungan kecil yang disebut kelos atau palet.
  1. Sekir  (menata benang menjadi motif)
Proses ini adalah proses paling rumit, karena seorang penyekir harus menata benang-benang tipis sejumlah 2100 helai benang untuk menghasilkan satu motif tertentu kain lurik selebar 70 cm. tiap-tiap motif memiliki rumus yang berbeda. padahal motif kain lurik sendiri berjumlah puluhan. baik motif klasik maupun motif kontemporer.
  1. Nyucuk  ( memindahkan desain motif ke alat tenun) Setelah motif dasar ditata di alat sekir, makan kemudian dipindahkan ke alat tenunan. kembali ke-2100 helai benang tadi ditata, dimasukkan satu persatu ke alat serupa sisir di alat tenun. Pada bagian ini, harus dilakukan oleh dua orang, yang satu memilah benang satu persatu dan menyerahkannya kepada partnernya, sedangkan partner satunya menerima dan memasangkan pada alat tenunnya.

  1. Menenun. Setelah empat proses yang mendahuluinya, akhirnya benang-benang itu siap untuk ditenun. dan tentunya dengan menggunakan alat tenun manual atau yang dikenal dengan ATBM, Alat Tenun Bukan Mesin. Dan akhirnya, kain-kain lurik indah penuh maknapun siap digunakan.


3.      Hubungan Lurik dengan Busana Jawa
Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh semua orang, sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya, atau tapih/nyamping/jarik (kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai bahan baju pria, di Solo disebut dengan beskap, sedangkan di Yogyakarta dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang (jarik gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar untuk menggendong tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu), terutama di daerah Solo dan Klaten Jawa Tengah. Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih penting lagi bahwa kain lurik ini dahulu digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.
Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris, namun variasinya sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik tradisional, seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama corak, yaitu antara lain: corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, dan sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) disebutkan pula beberapa motif seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dalam perkembangannya muncul motif- motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih banyak lagi. Motif yang paling mutahir adalah motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan galer.
    
   
     















4. Pengembangan Lurik
            Lurik dahulu hanya digunakan sebagai bahan baju, kemben, selendang, jarik, sarung. Namun seiring dengan perkembangan jaman penggunaan kain lurik lebih bervariasi sesuai kebutuhan contohnya sebagai bahan topi,tas,dompet,taplak,selimut dan masih banyak lagi.