bendhu alfandiv

Rabu, 04 Mei 2011

Mengenal Aksara Jawa


Klasifikasi

Aksara Jawa Hanacaraka termasuk ke dalam kelompok turunan aksara Brahmi, sebagaimana semua aksara Nusantara lainnya. Aksara ini memiliki kedekatan dengan aksara Bali. Aksara Brahmi sendiri merupakan turunan dari aksara Assyiria.

Bentuk hanacaraka yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata "hari". Aksara Na yang mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata "nabi". Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara Latin.

Kelompok aksara

Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran modern sekarang menuliskannya di atas garis.
Aksara hanacaraka Jawa memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf "utama" (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada).

Huruf dasar (aksara nglegena)

Pada aksara Jawa hanacaraka baku terdapat 20 huruf dasar (aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu "cerita pendek":
  • ha na ca ra ka
  • da ta sa wa la
  • pa dha ja ya nya
  • ma ga ba tha nga
Berikut ini adalah aksara nglegena:

Huruf pasangan (Aksara pasangan)

Pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Sebagai contoh, untuk menuliskan mangan sega (makan nasi) akan diperlukan pasangan untuk "se" agar "n" pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan "s" tulisan akan terbaca manganasega (makanlah nasi).
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.
Berikut ini adalah daftar pasangan:


 

Huruf utama (aksara murda)

Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (hampir setara dengan huruf kapital) yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan nama gelar, nama diri, nama geografi, nama lembaga pemerintah, dan nama lembaga berbadan (Kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang menunjukkan hal-hal diatas biasanya diawali dengan huruf besar atau kapital. Untuk itulah pada perangkat lunak ini kita gunakan huruf kapital untuk menuliskan aksara murda atau pasangannya)
Berikut ini adalah aksara murda serta pasangan murda:

Huruf Vokal Mandiri (aksara swara)

Huruf tambahan (aksara rèkan)


Huruf Vokal tidak Mandiri (Sandhangan)

 

 

 

 

 

 

 

  

 

Tanda-tanda Baca (pratandha)


Gaya Penulisan (Style, Gagrag) Aksara Jawa

Berdasarkan Bentuk aksara Penulisan aksara Jawa dibagi menjadi 2 yakni:



Berdasarkan Daerah Asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya penulisan aksara Jawa :

 

 

 

Aturan baku penggunaan hanacaaka

Penggunaan (pengejaan) hanacaraka pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini, sejalan dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/. Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
Modifikasi ejaan baru dilakukan lagi tujuh puluh tahun kemudian, seiring dengan keprihatinan para ahli mengenai turunnya minat generasi baru dalam mempelajari tulisan hanacaraka. Kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga gubernur (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.
Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III, 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Perubahan yang dihasilkan kongres ini adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan).

Perubahan Aksara Pallawa ke Aksara-Aksara Nusantara

 

 


Bakso Uleg Temanggung

Bakso atau baso adalah jenis bola daging yang paling lazim dalam masakan Indonesia. Bakso umumnya dibuat dari campuran daging sapi giling dan tepung tapioka, akan tetapi ada juga baso yang terbuat dari daging ayam, ikan, atau udang. Dalam penyajiannya, bakso umumnya disajikan panas-panas dengan kuah kaldu sapi bening, dicampur mi, bihun, taoge, tahu, terkadang telur, ditaburi bawang goreng dan seledri. Bakso sangat populer dan dapat ditemukan di seluruh Indonesia; dari gerobak pedagang kaki lima hingga restoran. Berbagai jenis bakso sekarang banyak di tawarkan dalam bentuk makanan beku yang dijual di pasar swalayan dan mall-mall. Irisan bakso dapat juga dijadikan pelengkap jenis makanan lain seperti mi goreng, nasi goreng, atau cap cai.
A.   
Asal mula
Istilah Bakso berasal dari kata Bak-So, dalam Bahasa Hokkien berarti 'daging giling', hal ini menunjukkan bahwa bakso memiliki akar dari seni kuliner Tionghoa Indonesia. Akan tetapi kini kebanyakan penjual bakso adalah orang Jawa dari Wonogiri dan Malang. Tempat yang terkenal sebagai pusat Bakso adalah Solo dan Malang yang disebut Bakso Malang. Karena kebanyakan penduduk Indonesia adalah muslim, bakso umumnya terbuat dari daging halal seperti daging sapi, ikan, atau ayam.

B.     Cara Pembuatan Bakso

Ø Bahan :
1 kg daging sapi (bagian paha belakang)
1 butir putih telur
1 ons es serut
100 gr tepung sagu
1 1/2 sdt garam
1 sdt lada bubuk
8 buah bawang putih dihaluskan
1/2 sdt Penza (membuat kenyal)

Ø Cara Membuat:

Campur jadi satu es dengan putih telur, garam, lada, bawang putih halus, dan penza, campur rata. Campur kedalam daging aduk-aduk sambil ditambahkan tepung sagu, lakukan hingga daging benar-benar kalis.

Bulatkan daging dengan cara : ambil daging dan letakkan dalam genggaman tangan kemudian tekan genggaman tangan hingga keluar daging dari sela ibu jari, ambil dengan sendok, masukkan ke dalam rebusan air , masak hingga bakso matang, lakukan hingga selesai.

C.    Pembeda Bakso Uleg dengan Yang Lain
Apa bedanya bakso uleg sama bakso biasa? Dibandingkan bakso biasa, bakso uleg kuahnya lebih bening, lebih segar, dan tanpa campuran mie, sebagai gantinya bakso uleg memakai ketupat, lontong, dan tahu [biasanya tahu kering dan jauh lebih banyak daripada bakso biasa].
Yang paling spesial sesuai namanya, sebelum diracik baksonya dalam mangkuk, pelanggan harus menyebutkan dulu mau berapa cabe yang mau dicampurkan [cabe rawit hijau], sesuai selera. Setelah itu diuleg di mangkuk baru dikasih tambahan dan kuahnya. Makanya sensasi pedasnya berbeda dengan bakso lainnya. Bukan pedes sambel, tetapi dari cabe segar.
D.     Variasi Bakso
Bakso memiliki beberapa variasi diantaranya:
  • Bakso urat: bakso yang diisi irisan urat atau tendon dan daging tetelan kasar
  • Bakso bola tenis atau bakso telur: bakso berukuran bola tenis berisi telur ayam rebus
  • Bakso gepeng: bakso berbentuk pipih
  • Bakso ikan: bakso berbahan daging ikan
  • Bakso udang: bakso berbahan dari udang
  • Bakso Malang: hidangan bakso dari kota Malang , Jawa Timur; lengkap dengan mi kuning, tahu, siomay, dan pangsit goreng
  • Bakso keju: bakso resep baru berisi keju
E.      Kesehatan Tentang Bakso
Dalam proses pembuatanya, ada bakso yang dicampur dengan boraks atau bleng untuk membuat tepung menjadi lebih kenyal mirip daging serta lebih awet. Hal ini membuat bakso pernah dianggap makanan yang kurang aman oleh BPOM. BPOM  mengingatkan bahwa mengkonsumsi makanan berkadar boraks tinggi selama kurun 5–10 tahun dapat meningkatkan risiko kanker hati. Maka bakso yang dijual di berbagai pasar tradisional dan pasar swalayan diwajibkan bebas boraks.

Mengenal Kabupaten Temanggung dan Peninggalan Bersejarah

 1.    Sejarah kota Temanggung
Sejarah Temanggung selalu dikaitkan dengan raja Mataram Kuno yang bernama Rakai Pikatan. Nama Pikatan sendiri dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah yang berada pada sumber mata air di desa Mudal Kecamatan Temanggung. Disini terdapat peninggalan berupa reruntuhan batu-bebatuan kuno yang diyakini petilasan raja Rakai Pikatan. Sejarah Temanggung mulai tercatat pada Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi yang ditemukan penduduk dusun Dunglo Desa Gandulan Kecamatan Kaloran Temanggung pada bulan November 1983. Tapi sayang benda peninggalan lain di desa ini berupa arca berbentuk sapi sebanyak  2 arca telah dicuri pada sekitar tahun 1994 kini hanya tinggal bersisa batu yoni dan bebatuan berbentuk menyerupai gentong. Prasasti itu menggambarkan bahwa Temanggung semula berupa wilayah kademangan yang gemah ripah loh jinawi dimana salah satu wilayahnya yaitu Pikatan. Disini didirikan Bihara agama Hindu oleh adik raja Mataram Kuno Rahyangta I Hara, sedang rajanya adalah Rahyangta Rimdang (Raja Sanjaya) yang naik tahta pada tahun 717 M (Prasasti Mantyasih). Oleh pewaris tahta yaitu Rake Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M, Bihara Pikatan memperoleh bengkok di Sawah Sima. Jika dikaitkan dengan prasasti Gondosuli ada gambaran jelas bahwa dari Kecamatan Temanggung memanjang ke barat sampai kecamatan Bulu dan seterusnya adalah adalah wilayah yang subur dan tenteram (ditandai tempat Bihara Pikatan).

Pengganti raja Sanjaya adalah Rakai Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M dan bertahta selama kurang lebih 38 tahun. Dalam legenda Angling Dharma, keraton diperkirakan berada di daerah Kedu (Desa Bojonegoro). Di desa ini ditemukan peninggalan berupa reruntuhan. Di wilayah Kedu juga ditemukan desa Kademangan. Pengganti Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan yang naik tahta pada tanggal 1 april 784 dan berakhir pada tanggal 28 Maret 803. Rakai Panunggalan bertahta di Panaraban yang sekarang merupakan wilayah Parakan . Disini ditemukan juga kademangan dan abu jenasah di Pakurejo daerah Bulu. Selanjutnya Rakai Panunggalan digantikan oleh Rakai Warak yang diperkirakan tinggal di Tembarak. Disini ditemukan reruntuhan di sekitar Masjid Menggoro dan reruntuhan Candi dan juga terdapat Desa Kademangan. Pengganti Rakai warak adalah Rakai Garung yang bertahta pada tanggal 24 januari 828 sampai dengan 22 Pebruari 847. Raja ini ahli dalam bangunan candi dan ilmu falak (perbintangan). Dia membuat pranata mangsa yang sampai sekarang masih digunakan. Karena kepandaiannya sehingga Raja Sriwijaya ingin menggunakannya untuk membuat candi. Namun Rakai Garung tidak mau walau diancam. Kemudian Rakai Garung diganti Rakai Pikatan yang bermukim di Temanggung. Disini ditemukan Prasasti Tlasri dan Wanua Tengah III. Disamping itu banyak reruntuhan benda kuno seperti Lumpang Joni dan arca-arca yang tersebar di daerah Temanggung. Disini pun terdapat desa Demangan.

Asal mula kata Temanggung bisa diketahui dari salah satu buku sejarah, yaitu buku karangan I Wayan Badrika. Menurut buku tersebut disebutkan, kata Temanggung diawali dari sosok Rakai Pikatan selaku raja Mataram Kuno yang berkeinginan menguasai wilayah Jawa Tengah dan merebut kekuasaan raja Bala Putra Dewa selaku penguasa kerajaan Syailendra. Untuk mencapai keinginannya tersebut, Rakai Pikatan membuat strategi dengan menikahi Dyah Pramudha Wardani kakak raja Bala Putra Dewa dengan maksud untuk memiliki pengaruh kuat di kerajaan Syailendra.

Setelah Rakai Pikatan berhasil menjadi keluarga kerajaan Syailendra, ia kemudian menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan prajurit dan senopati. Tidak hanya itu, Rantai Pikitan juga memungut upeti dari para demang yang dipercayakan kepada Demang Gong untuk memungut upeti tersebut. Setelah Rakai Pikatan berhasil menghimpun bala tentara, ia pun memerintahkan kepada pasukannya untuk melakukan penyerangan. Dalam penyerangan ini Rakai Pikatan dibantu Kayu Wangi dan menyerahkan wilayah kerajaan kepada orang kepercayaan-nya yang berpangkat demang. Dari nama demang dan wilayah kademangan kemudian muncul lah nama Ndemanggung yang akhirnya berubah menjadi nama Temanggung.

Catatan sejarah Temanggung berasal dari :
1.      Prasasti Wanua Tengah III, Berkala arkeologi tahun 1994 halaman 87 bahwa Rakai Pikatan dinyatakan meninggal dunia pada tanggal 27 Mei 855 M.
2.      Prasasti Siwagrha terjemahan Casparis (1956 - 288), pada tahun 856 M Rakai Pikatan mengundurkan diri.
3.      Prasasti Nalanda tahun 860 (Casparis 1956, 289 - 294), Balaputra dewa dikalahkan perang oleh Rakai Pikatan dan Kayu Wangi.
4.      Prasasti Wanua Tengah III, Berkala Aekeologi Tahun 1994 halaman 89, Rakai Kayu Wangi naik tahta tanggal 27 Mei 855 M.
5.      Dalam buku karangan I Wayan Badrika halaman 154, Pramudya Wardani kawin dengan Rakai Pikatan dan naik tahta tahun 856 M. Balaputra Dewa dikalahkan oleh Pramudha wardani dibantu Rakai Pikatan (Prasasti Ratu Boko) tahun 856 M.

Catatan diatas dapat disimpulkan bahwa Rakai Pikatan mengangkat putranya Kayu Wangi. Selanjutnya mengundurkan diri dan meninggalkan Mataram untuk kawin dengan Pramudha Wardani. Dalam peperangan melawan Balaputra Dewa, Rakai Pikatan dibantu putranya Kayu Wangi.


2.    Benda Purbakala dan Peninggalan Serta Nilai Historis
A.  Candi Pringapus

Candi Pringapus adalah candi di desa PringapusNgadirejo, Temanggung 22 Km arah barat laut ibu kota kabupaten Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu yang erat kaitanya dengan Dewa Siwa menandakan bahwa Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Candi tersebut dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut prasasti yang ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932. Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Hal ini terlihat dari adanya arca-arca bersifat Hindu yang erat kaitannya dengan Dewa Siwa. Sebagaimana lazimnya candi-candi Hindu yang memanifestasikan Siwa, posisi candi dan letak arca-arcanya selalu menjadi ciri khas yang memperhatikan penjuru mata angin. Pintu utama candi menghadap ke timur, dan dikanan-kirinya dijaga Kala dan Nandi. Kala adalah anak Siwa yang lahir dari persatuan antara Siwa dengan kekuatan alam yang dahsyat. Kala lahir sebagai raksasa sakti yang dapat mengalahkan semua dewa. Sedangkan Nandi adalah lembu putih kendaraan Siwa, sehingga dalam satu perwujudannya Siwa disebut Nandi Cwara.                                                        

Pada bagian lain terdapat Durga Mahesasuramardhini. Durga merupakan salah satu perwujudan Uma sebagai dewi cantik dengan berbagai macam senjata anugerah dewa. Sebagai Durga, Uma menurut legenda berhasil mengalahkan raksasa sakti berwujud kerbau yang mengganggu para Brahmana. Di dalam candi juga terdapat Yoni yaitu salah satu perwujudan Uma (Istri Siwa) yang berfungsi sebagai alas arca Siwa atau perwujudannya (biasanya Lingga) persatuan lingga dan Yoni merupakan simbol penciptaan alam semesta sekaligus simbol kesuburan. Sebagai saksi kebesaran sejarah masa silam, hal lain yang menarik dari Candi Pringapus adalah hiasa Kala berdagu seperti Kala type Jawa Timur.

Candi Pringapus relief masih utuh, Karakteristiknya yang unik membuat banyak wisatawan asing berdatangan, terutama dari Belanda, Belgia dan Amerika Serikat.Saat liburan.Wisata candi ini ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah termasuk anak-anak sekolah yang ingin mempelajari sejarah. Candi Pringapus pertama kali disebut Junghun dalam daftar reruntuhan candi-candi Jawa, yang didasarkan pada gambar Hoepermans. Setelah itu, gambar diperbarui oleh Brandes, Van Erp (1909) dan Knebel (1911). Situs candi ini juga terkait dengan Candi Perot yang ada di dekatnya (sekitar 300 meter), yang runtuh akibat badai besar tahun 1907 (kini hanya terlihat pondasi saja).                             
Menurut seorang arkeolog, Djulianto Susanto (Menentukan Pertanggalan  Candi; 2003), sampai kini belum ada kesimpulan yang pasti mengenai kapan suatu candi mulai dibangun atau didirikan. Dari berbagai data arkeologi, tidak satu pun yang menyiratkan informasi secara akurat.Arkeolog Belanda EB Vogler pernah melakukan penelitian terhadap hiasan kala makara diatas pintu candi. Hasil dipetakan menjadi lima periode pertanggalan yaitu :

1.    Periode I, yaitu masa sebelum tahun 650. Ia memperkirakan, ketika itu sudah ada bangunan ang terbuat dari bahan-bahan yang mudah rusak dan lapuk sehingga tanda-tanda arsitekturalnya tidak tersisa lagi.
2.    Periode II (650-760), yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram Hindu. Gaya bangunan dipengaruhi oleh arsitektur Pallawa yang berasal dari India Selatan. Bangunan-bangunan candi dari periode ini pun sudah rusak, dan tidak mudah teridentifikasi.
3.    Periode III (760-812), pada masa Dinasti Syailendra. Contoh bangunannya adalah Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan dan sari.
4.    Periode IV (8120-928), Pengaruh asing terutama gaya Chandiman (India) mulai memperkaya unsure-unsur candi. Contohnya antara lain Prambanan, sariwanm Plaosan dan Ngawen.
5.    Periode V, yang berlangsung tahun 928 hingga akhir masa Hindu-Jawa. Bangunannya merupakan perkembangan dari gaya-gaya sebelumnya. Bangunan dari periode ini mulai diperkaya dengan unsur-unsur kesenian Jawa Timur, terutama bentuk kala. Contoh bangunannya antara lain Candi Pringapus, Sembodro, Ratna dan Srikandi.

B.   Prasasti Gondosuli

Prasasti Gondosuli terletak di Desa Gondosili Kecamatan Bulu, sekitar 13 km arah barat etm, dengan memiliki Luas keseluruhan situs ini sekitar 4.992 m2. Pada tahun 832, sesuai dengan candrasengkala yang ada, Prasasti Gondosuli menjadi saksi bisu kejayaan Dinasti Sanjaya, terutama di masa pemerintahan Rakai Patahan (Rakaryan Patapan Pu Palar) sebagai raja di Mataram Hindu (Mataram Kuno). Nama Rakai Patapan juga dapat dijumpai dalam Prasasti Karang Tengah yaitu ditulis pada tahun 824.

Berdasarkan penelitian Prasasti Gondosuli memuat 11 baris tulisan. Tulisan tersebut menggunakan huruf Jawa Kuno, tapi menggunakan bahasa Melayu Kuno.Bahkan bentuk tulisannya mirip prasasti-prasasti di daerah Sriwijaya Andalas (Sumatera). Prasasti Gondosuli ditulis/dipahat pada batu besar dengan panjang 290 cm, lebar 110 cm dan tinggi 100 cm, sedangkan bidang yang ditulis brukuran 103 x 54 cm2. Dalam prasasti tersebut, pada baris pertama terdapat tulisan “Nama Syiwa Om Mahayana, sahin mendagar wa’zt tanta pawerus darma” yang berarti "Bakti kepada Desa Siwa, Om Mahayana (Orang Besar). Di semua batas hutan pertapaan, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, mendengarkan hasil pekerjaan/ perbuatan yang baik".Prasasti tersebut berisi penghibahan tanah, dimana tanah itu digunakan untuk bangunan suci/candi, serta untuk memperingati pembangunan patung raja (Hyang Haji) disebuah preseda yang disebut Sang Hyang Wintang.

Selain ditemukan prasasti ada pula reruntuhan bebatuan candi yang berserakan disekitarnya. Batu yang berserakan itu diperkirakan hanya bagian atas candi, sedangkan sebagian besar bangunan candi terpendam dalam tanah.Pernah ada upaya dari pihak terkait, yaitu Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, untuk melakukan penggalian.Tapi upaya ini dihentikan karena tanah diatas bangunan candi yang terpendam digunakan untuk pemakaman umum dan juga terdapat makam seorang tokoh agama, Kiai Rofi’I, yang dikeramatkan oleh penduduk setempat.
Tidak seperti candi-candi yang lain, candi Gondosuli hingga kini masih berada dibawah timbunan tanah. Memang ada beberapa bagian batu candi yang sudah ditemukan lewah penggalian, namun menurut banyak ahli, Candi Gondosuli berukuran sangat besar sehingga kalau digali dapat menenggelamkan seluruh kawasan desa. Diperkirakan Candi Gondosuli adalah bekas istana sebuah kerajaan. Rajanya bernama Rahayan Patapan yang memeluk agama Hindu. Kendati sebagian besar dari batu-baruan candi masih tertutup tanah, akan tetapi di antara batu-batuan yang sudah ditemukan terdapat beberapa yang memiliki keistimewaan. 

Misalnya, ada sebuah Yoni berbentuk batu segi empat dengan lubang ditengah-tengahnya. Di dalam lubang Yoni tersbeut terdapat air yang menurut masyarakat setempat tidak pernah kering, sekalipun di musim kemarau. Yoni berlubang tersebut hingga saat ini masih dianggap memiliki kekuatan magis. Di samping Yoni, terdapat juga sebuah batu berbentuk setengah lingkaran. Menurut ceritera, pada jaman dahulu batu setengah lingkaran itu sering di gunakan Raja Dang Karayang Pupalar untuk bertapa jika kerajaannya menghadapi ancaman.

Prasasti Gandasuli merupakan prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuna ketika dikuasai oleh Wangsa Syailendra. Prasasti ini ditemukan di reruntuhan Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah. Yang mengeluarkan adalah anak raja (pangeran) bernama Rakai Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung.

Prasasti Gandasuli terdiri dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang Glis) dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang). Ia ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuna dengan aksara Kawi (Jawa Kuna), berangka tahun 792M. Teks prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris dan berisi tentang filsafat dan ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.


C.    Situs Liyangan

Situs Liyangan ditemukan pada tahun 2008 yang berupa candi ukuran kecil dan hingga kini di kawasan penambangan pasir di lereng Gunung Sindoro itu masih ditemukan benda-benda bersejarah lain.Situs Liyangan berada di atas permukiman warga Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, berjarak sekitar 20 kilometer arah barat laut dari kota Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Untuk mengungkap keberadaan situs tersebut pada 14-20 April 2009 tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian terhadap benda-benda temuan yang terkubur pasir dengan kedalaman sekitar tujuh hingga 10 meter tersebut. Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga, Kabupaten Temanggung, Subekti Prijono, menyatakan, berdasarkan hasil penelitian tim Balai Arkeologi Yogyakarta, diperkirakan situs tersebut merupakan sebuah permukiman pada zaman Mataram Kuno.
Situs ini mempunyai keunikan yaitu memiliki yoni dengan 3 lingga (lingga yoni model poliandri). Keunikan ini jarang ditemui di Indonesia. Situs liyangannya sendiri berada di kedalaman 2 meteran dibawah tanah, kemungkinan di temukan penampang pasir yang hendak mengambil batu..Diperkirakan situs tersebut sebuah perdusunan karena di antara benda temuan terdapat sisa-sisa rumah berbahan kayu dan bambu. Subekti menyebutkan, di kawasan dengan ketinggian sekitar 1.400 di atas permukaan air laut tersebut pertama kali ditemukan sebuah talud, yoni, arca, dan batu-batu candi. Penemuan selanjutnya berupa sebuah bangunan candi yang tinggal bagian kaki dan di atasnya terdapat sebuah yoni yang unik, tidak seperti umumnya, karena yoni ini memiliki tiga lubang.

Temuan terakhir yang cukup spektakuler pada akhir Maret 2010 berupa rumah panggung dari kayu yang hangus terbakar dan masih tampak berdiri tegak. Satu unit rumah tersebut berdiri di atas talud dari batu putih setinggi 2,5 meter. Selain itu juga ditemukan satu unit rumah kayu lain yang saat ini baru tampak pada bagian atapnya.

Ia menjelaskan, tim Balai Arkeologi memperkirakan kedua unit rumah itu merupakan bangunan rumah masa Mataram Kuno. Hal ini berdasarkan pada lokasi yang dekat dengan temuan candi Hindu yang berada di sebelah barat pada jarak sekitar 50 meter. Ditemukannya profil klasik Jawa Tengah pada kaki candi diperkirakan candi ini berasal dari abad sembilan Masehi. Diperkirakan bangunan rumah tersebut berada dalam satu kompleks dengan candi dan kemungkinan merupakan satu zaman.

Secara umum, potensi data arkeologi situs Liyangan tergolong tinggi berdasarkan indikasi, antara lain luas situs dan  keragaman data berupa bangunan talud, candi, bekas rumah kayu dan bambu, strutur bangunan batu, lampu dari bahan tanah liat, dan tembikar berbagai bentuk. Selain itu, juga diperoleh informasi berupa struktur bangunan batu, temuan tulang dan gigi hewan, dan padi.

Berdasar gambaran hasil survei penjajakan Balai Arkeologi menyimpulkan, Situs Liyangan merupakan situs dengan karakter kompleks. Indikasi sebagai situs permukiman, situs ritual, dan situs "pertanian". Kompleksitas karakter tersebut membawa pada pemikiran, situs Liyangan adalah bekas perdusunan yang pernah berkembang pada masa Mataram Kuno.Ragam data dan karakter ini tergolong istimewa mengingat temuan ini satu-satunya situs yang mengandung data arkeologi berupa sisa rumah masa Mataram Kuno.

Batasan imajiner situs Liyangan berdasarkan survei diperkirakan tidak kurang dari dua hektar. Di area tersebut tersebar data arkeologi yang menunjukkan sebagai situs perdusunan masa Mataram Kuno.Mengingat sebagian situs terkubur lahar, sangat mungkin luasan situs lebih dari hasil survei.

Hasil penelitian tim Balai Arkeologi menyimpulkan, data arkeologi berupa sisa-sisa rumah berbahan kayu dan bambu merupakan situs perdusunan masa Mataram Kuno sekitar 1.000 tahun lalu. Data tersebut merupakan satu-satunya yang pernah ditemukan di Indonesia sehingga memiliki arti sangat penting bukan hanya bagi pengembangan kebudayaan di Indonesia, tetapi juga dalam skala internasional.Untuk itu perlu dilakukan upaya penyelamatan guna penelitian dunia ilmiah.

Bekti Prijono juga menambahkan, situs tersebut berada di lahan milik penduduk dan dimanfaatkan untuk diambil pasirnya, dikhawatirkan situs akan rusak jika tidak dilakukan upaya penyelamatan. Atas kondisi ini, Subekti mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya tanah itu masih milik warga. Aktivitas penggalian itu dikhawatirkan dapat merusak situs purbakala yang ada. Untuk membebaskan tanah pemerintah setempat perlu dana dan baru akan dibicarakan dengan DPRD untuk diusulkan dalam APBD.


D.   Petilasan Jumprit

Jumprit adalah sebuah sumber mata air di Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Tempat ini dikaitkan dengan sang Nujum dari Majapahit yang disebutkan dalam Serat Chenthini. Dari sang Nujum inilah Jumprit mendapatkan namanya. Jumprit juga merupakan tempat pengambilan air suci untuk upacara Waisak yang diadakan di Borobudur. Setiap tahun, para pemeluk agama Buddha dari berbagai tempat dan negara datang ke Jumprit untuk mengambil air suci. Tempat ini menjadi ramai tiap menjelang bulan purnama di bulan Mei.

Kawasan ini berada di ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut (dpl) dan berada di lereng Gunung Sindoro tempatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo. Jaraknya hanya sekitar 26 km dari barat laut kota Temanggung. Dahulu keberadaan Umbul Jumprit hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja. Tetapi sejak awal 1980, jumlah pengunjung terus meningkat, terutama mereka yang ingin berziarah ke makam Ki Jumprit dan mandi kungkum di Umbul Jumprit.

Ki Jumprit yang merupakan ahli nujum di Kerajaan Majapahit. Ki Jumprit bukan hanya dikenal sakti mandraguna, tetapi juga salah seorang putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Alkisah ia meninggalkan kerajaan, agar bisa mengamalkan ilmu dan kesaktiannya kepada masyarakat luas. Perjalanan panjangnya berakhir di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung.  Sebagai ahli nujum, Ki Jumprit pernah meramal suatu saat nanti Temanggung akan menjadi daerah makmur dan sebagian ramalannya tersebut terbukti. Banyak petani di lereng Sumbing dan Sindoro relative hidup berkecukupan melalui tanaman tembakau.

Beberapa tokoh masyarakat meyakini, Ki Jumprit adalah leluhur dari masyarakat Temanggung yang tersebar di lereng Gunung Sindoro dan Sumbing. Namun hal ini masih memerlukan kajian mendalam, terutama dari aspek kesejarahan. Ada beberapa lokasi yang diyakini sebagai petilasan KI Jumprit begitu juga letak makamnya yang berada tak jauh dari Umbul Jumprit. Dua lokasi inilah yang kerap dikunjungi peziarah, terutama komunitas tertentu yang terbiasa melakukan tirakat.

Umbul Jumprit, mata air yang disucikan. Air umbul (sendang, mata air) adalah air keberkahan yang diambil para biksu dengan ritual khusus untuk digunakan dalam upacara Trisuci Waisak di Candi Borobudur. Umbul yang tak pernah kering ini juga "mengisi" Sungai Progo. Upacara pengambilan air di mata air yang diyakini sebagai tempat pertapaan Pangeran Singobarong dari Kerajaan Majapahit itu dimulai oleh kelompok biksu dari aliran Theravada.